Minggu, 02 April 2017
Ekonomi Sulsel 2017
14.53
Ekonomi
MENAKAR
EKONOMI SULSEL 2017*)
Agussalim
Ekonomi Sulawesi
Selatan (Sulsel) kembali ke jalur (on the
track) setelah sempat mengalami kontraksi pada tahun 2015. Sepanjang tahun
2016, ekonomi Sulsel bertumbuh cukup kuat di angka 7,41%, lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya (7,17%). Angka ini juga berada di atas pertumbuhan ekonomi
nasional 5,02% dan menempati posisi keempat tertinggi secara nasional sesudah
Provinsi Papua, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Fakta ini setidaknya terungkap
pada acara Diseminasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Sulsel yang
dilaksanakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulsel beberapa
hari yang lalu. Tentu saja, ini adalah kecenderungan yang positif dan pencapaian
yang cukup impresif, di tengah perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih
dan stabil.
Dari sisi lapangan
usaha, membaiknya ekonomi Sulsel dikontribusi oleh sektor jasa keuangan dan
asuransi, pengadaan listrik dan gas, serta perdagangan besar dan eceran yang bertumbuh
paling akseleratif, dikisaran 9,85% - 13,63%. Meski demikian, sumber
pertumbuhan masih berasal dari sektor pertanian, perdagangan besar dan eceran, industri
pengolahan, dan konstruksi. Keempat sektor ini menyumbang lebih dari dua pertiga
(68,5%) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulsel. Sedangkan dari sisi penggunaan,
masih bersumber dari konsumsi masyarakat seiring dengan keyakinan konsumen yang
meningkat dan daya beli yang terjaga. Sebaliknya, perdagangan dengan daerah dan negara lain, tampaknya belum memberikan
dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Sulsel. Defisit neraca perdagangan (impor
berada di atas ekspor) masih terus terjadi meneruskan tren beberapa tahun
terakhir. Ekspor dan impor juga menunjukkan penurunan dalam dua tahun terakhir.
Meski demikian, pada tahun 2017 diperkirakan akan terjadi peningkatan ekspor
seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang dan meningkatnya harga
komoditas global.
Peningkatan ini diharapkan dapat memangkas defisit neraca perdagangan.
Secara khusus, sektor industri pengolahan
tampaknya perlu mendapat perhatian. Kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap PDRB masih relatif kecil, dan bahkan relatif stagnan. Tahun 2016, kontribusinya
hanya sebesar 13,92%, sedikit meningkat dibandingkan lima tahun sebelumnya (13,71%).
Dengan kata lain, proses transformasi ekonomi di Sulsel bergerak lamban. Ke
depan, daerah ini perlu segera mendorong diversifikasi industri pengolahan dan mempercepat
hilirisasi industri untuk mengoptimalkan nilai tambah sumberdaya alam, sambil
memperkuat dukungan sumberdaya manusia, teknologi dan inovasi, logistik dan
infrastruktur.
Lalu, bagaimana dengan tahun 2017?
Diproyeksikan ekonomi Sulsel akan bertumbuh lebih kuat di kisaran 7,6 – 7,8%,
seiring dengan kian membaiknya ekonomi nasional dan global. Meskipun pemerintah
hanya memasang target pertumbuhan ekonomi Nasional 5,1% (sebagaimana tercantum
di dalam asumsi dasar APBN 2017), akan tetapi berbagai lembaga internasional
seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF) optimis di angka 5,2%
hingga 5,4% karena kecenderungan membaiknya investasi dan konsumsi, baik swasta
maupun pemerintah, serta membaiknya kinerja ekspor. Pada saat yang sama, mengikuti
proyeksi World Economic Outlook, perekonomian
global diperkirakan akan tumbuh 3,4%, lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya 3,1%. Optimisme ini didasarkan pada kian membaiknya harga komoditas
tambang (baja, nikel, batubara, dll.) dan komoditas perkebunan (CPO, kakao,
kopi, dll.), serta membaiknya perekonomian Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kondisi eksternal yang
semakin membaik tersebut, menularkan optimisme bagi perekonomian Sulsel.
Membaiknya harga komoditas andalan ekspor Sulsel (seperti nikel, kopi, kakao,
udang, dll.) dan adanya pembangunan berbagai infrastruktur (seperti jalan dan
jembatan, bendungan, pembangkit lsitrik, jaringan kereta api, dll.) menjadi
alasan mengapa ekonomi Sulsel diperkirakan bertumbuh lebih kuat di tahun 2017.
Indeks tendensi konsumen dan indeks tendensi bisnis yang juga cenderung
meningkat, turut mendukung optimisme tersebut.
Efek lebih lanjut dari
membaiknya perekonomian Sulsel tampak pada penurunan tingkat pengangguran
terbuka (TPT). Selama periode Agustus 2015 – Agustus 2016, TPT menurun dari
5,95% menjadi 4,80% atau secara absolut menurun sebesar 34.345 orang. Capaian
ini patut diapresiasi mengingat TPT tetap menurun di saat jumlah angkatan kerja
meningkat 4,72% dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) naik 1,98 poin.
Penurunan TPT sesungguhnya masih berpeluang diturunkan ke level yang lebih
rendah, jika sekiranya: (1) momentum pertumbuhan ekonomi terus terjaga pada
tren positif; (2) industri pengolahan bertumbuh lebih akseleratif melalui
diversifikasi dan hilirisasi industri; dan (3) jenis industri
yang dikembangkan bisa lebih padat modal. Data yang dirilis BPS menunjukkan
bahwa sektor industri (mencakup industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas,
pengadaan air, dan konstruksi) menyumbang 26,60% terhadap PDRB Sulsel akan
tetapi hanya menyerap 7,66% dari seluruh tenaga kerja. Secara implisit, jenis
industri di Sulsel tidak cukup padat modal.
Salah satu tantangan
yang patut diwaspadai di tahun 2017 adalah pergerakan laju inflasi. Meskipun
sepanjang tahun 2016, tingkat inflasi relatif terkendali (2,94%), namun tingkat
inflasi di awal tahun 2017 relatif cukup tinggi, yaitu masing-masing 1,12%
(Januari) dan 0,75% (Februari). Angka ini lebih tinggi dari tingkat inflasi Nasional
yang masing-masing hanya 0,97% dan 0,23% pada periode yang sama. Tingginya angka
inflasi, terutama dipicu oleh berbagai kebijakan pemerintah (administered price), seperti kenaikan
harga BBM subsidi (premium dan solar) dan non-subsidi (pertalite dan pertamax),
kenaikan tarif dasar listrik (akibat pencabutan subsidi 900 KV), dan kenaikan
biaya administrasi kendaraan bermotor (STNK dan BPKB). Kebijakan ini berpotensi memberikan pukulan ganda terhadap harga di kelompok
volatile food, yang selama ini sudah cukup
tinggi. Sedikitnya dalam satu dekade terakhir, kelompok volatile food selalu menjadi penyumbang terbesar terhadap pembentukan
inflasi di Sulsel.
Situasi ini perlu
diantisipasi melalui berbagai upaya, terutama memantau pergerakan harga bahan makanan
dengan melakukan koordinasi dengan para produsen dan distributor besar untuk
memastikan jaminan pasokan. Koordinasi dengan pihak Bank Indonesia juga
diperlukan untuk mengendalikan inflasi inti (core inflation) melalui penerapan berbagai instrumen kebijakan Bank
Indonesia. Untuk mengefektifkan koordinasi dimaksud, peran dan fungsi Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu lebih diintensifkan. Bagaimanapun, laju inflasi –
yang ditandai dengan kenaikan harga-harga secara umum – selalu “memukul”
masyarakat klas bawah. Daya beli mereka akan tergerus yang berakibat pada
menurunnya taraf hidup mereka. Itulah sebabnya, mengapa inflasi - bersama
dengan pengangguran - seringkali disebut sebagai penyakit kembar ekonomi makro.
Intinya, inflasi harus diwaspadai sepanjang tahun 2017.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tribun Timur, 23 Maret 2017