Minggu, 02 April 2017
Pengangguran Makassar
15.07
Sosial
TANTANGAN UTAMA MAKASSAR: PENGANGGURAN
Agussalim
Mengatasi pengangguran merupakan salah satu pekerjaan
utama pemerintah Kota Makassar dalam beberapa tahun ke depan. Sedikitnya ada empat
alasan. Pertama, jumlah pengangguran
di Kota Makassar cukup besar, angkanya mencapai 71.300 orang atau hampir sepertiga dari total pengangguran di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua, Tingkat
pengangguran terbuka (TPT) saat ini mencapai 12,02 persen yang merupakan angka
tertinggi dalam lima tahun terakhir. Angka statistik ini tampaknya
terkonfirmasi oleh maraknya “pak ogah” di berbagai ruas jalan di Kota Makassar
dalam satu-dua tahun terakhir. Ketiga,
pertumbuhan ekonomi Kota Makassar tampaknya tidak cukup inklusif karena TPT justru
meningkat di saat pertumbuhan ekonomi sedikit menguat. Akibatnya, TPT Kota
Makassar semakin jauh berada di atas TPT Sulawesi Selatan (5,95%) dan Nasional
(6,18%). Keempat, meski masih berupa
hipotesis, maraknya tindakan kriminalitas saat ini di Kota Makassar boleh jadi
berkorelasi kuat dengan tingginya angka pengangguran.
Data
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase angkatan
kerja yang bekerja pada tahun 2015 sebesar 87,98 persen atau 521.854 orang.
Dari angka tersebut, sebagian besar besar bekerja di sektor perdagangan besar,
eceran, hotel dan rumah makan, atau mencapai 34,68 persen. Sedangkan sektor
industri pengolahan hanya menyerap tenaga kerja sebesar 8,13 persen dari total
angkatan kerja yang bekerja. Padahal sektor industri pengolahan menyumbang
lebih dari seperlima terhadap pembentukan PDRB Kota Makassar. Rendahnya daya
serap tenaga kerja di sektor industri pengolahan menjadi faktor yang bisa
menjelaskan mengapa TPT di Kota Makassar cukup tinggi. Fakta ini juga
menegaskan bahwa industri pengolahan di Kota Makassar lebih berciri padat modal
(capital intensive). Itu sebabnya,
pertumbuhan sektor industri pengolahan seringkali tidak berjalan secara paralel
dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.
Peningkatan TPT menjadi tampak semakin menarik
karena terjadi justru saat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) cenderung
menurun. Dalam lima tahun terakhir, TPAK bergerak turun dari 61 persen pada tahun 2011 menjadi 55,20 persen pada tahun 2015. Angka ini mengindikasikan
semakin banyaknya penduduk usia kerja (berumur 15 tahun ke atas) yang lebih
memilih untuk tidak bekerja. Peningkatan angka ini disebabkan oleh semakin
besarnya minat penduduk usia 15 tahun ke atas untuk melanjutkan pendidikan
(bersekolah) ketimbang bekerja, yang ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi
penduduk yang bersekolah terhadap total bukan angkatan kerja. Pada tahun 2011,
hanya sekitar seperempat (25,44%) dari total bukan angkatan kerja yang lebih
memilih untuk bersekolah. Namun angka ini kemudian meningkat tajam menjadi 42,85 persen pada tahun 2015. Secara absolut, jumlah
penduduk usia 15 tahun ke atas yang bersekolah pada tahun 2011 hanya sebesar
96.085 orang, dan angka ini kemudian meningkat lebih dari dua kali lipat pada
tahun 2015. Fenomena ini tentu saja sangat bagus jika dilihat dari perspektif
pendidikan, tetapi ternyata tidak cukup baik jika dilihat dari perspektif
ketenagakerjaan.
Tingkat pendidikan angkatan kerja di Kota Makassar memang
relatif baik. Dari total angkatan kerja, sekitar sepertiga (33,25%) merupakan
lulusan Diploma dan Universitas, 40,33 persen tamatan SMA/SMK, 11,37 persen
tamatan SMP, dan selebihnya, 15,06 persen adalah tamatan SD, tidak tamat SD, dan tidak pernah sekolah.
Namun, angkatan kerja yang terdidik tersebut tidak sepenuhnya dapat terserap di
pasar tenaga kerja. Akibatnya, angkatan kerja yang menganggur juga didominasi
oleh mereka yang relatif terdidik. Bayangkan, sekitar 30 persen dari seluruh
angkatan kerja yang menganggur merupakan tamatan perguruan tinggi
(diploma/sarjana) dan sekitar 64 persen adalah tamatan SMA atau sederajat.
Dengan kata lain, di Kota Makassar telah terjadi pengangguran terdidik. Kondisi
ini juga bisa diartikan bahwa pasar
tenaga kerja di Kota Makassar lebih bias ke tenaga kerja tidak terdidik. Stagnannya
pertumbuhan sektor industri pengolahan dan rendahnya daya serap tenaga kerja di
sektor industri pengolahan menjadi penyebab mengapa tenaga kerja terdidik tidak
mampu terserap di pasar tenaga kerja. Fakta ini seolah-olah memperlihatkan
bahwa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tampaknya bukan
bagian dari solusi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.
Pasar tenaga kerja di Kota Makassar yang lebih bias
ke tenaga kerja tidak terdidik ketimbang tenaga kerja terdidik, tampaknya terkait
dengan struktur
perekonomian Kota Makassat yang terkonsentrasi pada sektor tersier (jasa). Sektor
ini menyumbang sekitar 63 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Makassar. Dari
angka tersebut, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda
motor dan sektor penyediaan akomodasi
dan makan minum menyumbang sekitar sepertiga. Tentu saja kedua sektor ini tidak
sepenuhnya membutuhkan tenaga kerja terdidik, setidaknya jika dibandingkan
dengan sektor industri.
Dalam beberapa tahun ke depan, penyediaan
lapangan kerja baru bagi para pencari kerja merupakan salah satu tantangan
terbesar pemerintah Kota Makassar. Inisiatif pemerintah Kota Makassar untuk mendorong
usaha rumahan dan industri kecil, patut diapreasiasi. Begitu pula pemberdayaan
ekonomi masyarakat lorong, terutama pembentukan Badan Usaha Lorong (BULo) juga
patut dihargai mengingat lorong merupakan wilayah bermukim para penganggur. Inisiatif
semacam ini bisa memberi dampak ganda, yaitu mengatasi pengangguran di satu
sisi dan memperbaiki taraf hidup masyarakat di sisi lain.
Pilihan-pilihan
kebijakan dan program semacam ini, perlu terus dipraktekkan secara intensif oleh
pemerintah Kota Makassar. Sebab pengembangan usaha rumah tangga, industri
kerajinan, dan industri kecil di banyak tempat telah terbukti mampu menyerap
tenaga kerja yang cukup besar karena memiliki elastisitas penyerapan tenaga
kerja yang cukup tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan sektor ekonomi
lainnya. Posisi Kota Makassar yang sangat strategis, didukung oleh ketersediaan
sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, daya beli masyarakat yang cukup
tinggi, dan skala pasar yang cukup besar, sesungguhnya merupakan peluang yang
dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi.
Pemerintah
Kota Makassar hanya perlu mengingat satu hal: “program sederhana yang
dilaksanakan secara sempurna akan jauh lebih baik daripada program sempurna
yang dilaksanakan ala kadarnya.”